Beberapa tahun belakangan ini, mengikutkan anak ke pre-school seperti menjadi sebuah tren. Berbondong-bondong, sang ibu sudah mengantarkan anak pagi-pagi pergi ke sekolah. Kemunculan berbagai pre-school ini juga tidak hanya ada di Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Berbagai daerah di Indonesia juga telah menghadirkan pre-school meski jumlahnya tidak sebanyak di kota-kota besar.
Mengapa mengikutkan anak ke pre-school?
Ada beberapa hal yang membuat orang tua mengikutkan putra-putri mereka yang masih di bawah 6 tahun untuk mengikuti pendidikan terstruktur di pre-school. Alasan paling utama meningkatnya tren pre-school ini adalah karena meningkatnya pula tren menjadi wanita pekerja. Tidak sedikit wanita di Indonesia yang juga memilih untuk berkarier selain menjadi ibu rumah tangga. Bahkan menurut survei, di tahun 2015, jumlah pekerja wanita di Indonesia mencapai 38% dari jumlah total 120 juta pekerja di Indonesia.
Setiap orang tua, terutama ibu, tentu ingin menyaksikan sang anak tetap tumbuh dan berkembang dengan baik, cerdas, dan berpendidikan. Sementara itu, situasi sang ibu yang harus bekerja di luar membuat ‘jatah mendidik’ anak di rumah menjadi berkurang. Dengan adanya pre-school, ibu tentu akan merasa terbantu dan lebih aman.
Selain itu, ada juga alasan lainnya yang membuat ibu mengikutkan anak ke pre-school. Tidak sedikit ibu yang berharap anak-anaknya menjadi lebih cepat dalam menghitung, membaca, atau bahkan berbicara dalam bahasa asing (khususnya bahasa Inggris). Melalui pre-school, anak diharapkan menjadi lebih cepat mengetahui, mengembangkan, dan memaksimalkan potensi dan bakat yang dimiliki.
Lantas, perlukah mengikutkan anak ke pre-school?
Pertanyaan ini kerap menjadi pembahasan yang penuh pro dan kontra. Sebagian masyarakat mendukung adanya kegiatan pre-school untuk putra-putri kecil mereka, sebagian lain menolak habis-habisan, dan sebagian sisanya bersikap netral. Lantas, apakah memang perlu mengikutkan anak ke pre-school, atau justru sebaliknya?
Jawaban ini bisa jadi lebih bersifat sangat subjektif, namun tetap bersifat situasional. Artinya, sudut pandang dan prioritas seorang ibu yang satu dan lainnya tidak bisa disamaratakan. Apalagi jika situasi yang dihadapi berbeda.
Mengikutkan anak ke pre-school bisa dianggap perlu apabila memang keadaan yang sangat mengharuskan demikian. Sebagai contoh, apabila seorang ibu bekerja di kantor dengan intensitas yang cukup padat, maka sah-sah saja memercayakan putra-putrinya berada di pre-school.
Tindakan tersebut umumnya semata-mata dilakukan untuk membuat ibu merasa aman. Sebab, dibandingkan meninggalkan anak sendiri di rumah atau di tangan seorang pengasuh, berada di pre-school cukup akan lebih melegakan perasaan ibu. Selain mendapat perhatian, anak juga akan mendapat pembelajaran terstruktur yang membantu merangsang otak.
Berbeda lagi jawabannya jika alasan untuk mengikutkan anak ke pre-school ternyata hanya agar si kecil menjadi lebih cepat berhitung, membaca, berbicara, dan sebagainya. Yang terjadi di masyarakat, hal-hal seperti ini juga bisa disebabkan gengsi. Melihat anak seorang kawan yang sebaya namun lebih pandai berhitung bisa membuat panas hati. Akibatnya karena iri dan gengsi, anak sendiri yang kemudian dikorbankan.
Selagi ibu memiliki waktu, tidak perlu rasanya mengikutkan anak ke pre-school. Ibu juga bisa mengajarkan sendiri hal-hal yang memang sebaiknya sudah waktunya diberikan kepada si kecil. Bagaimanapun, tanggung jawab utama seorang anak adalah di tangan kedua orang tuanya, bukan di tangan guru atau pengasuh.
Nah, itulah beberapa alasan yang sebaiknya menjadi pertimbangan sebelum mengikutkan anak ke pre-school. Selain faktor-faktor tadi, hal lain yang patut menjadi pertimbangan ibu adalah kemampuan anak—apakah anak sudah siap masuk pre-school. Semoga membantu! J